Smoking is highly addictive, don't start

don't make them breathe your smoke

Smoking when pregnant harms your baby

Smokers die younger
World Health Day 2011 web button

Kesalahan Diagnosis Asma pada Orang dengan Obesitas

Kamis, 29 Juli 2010


Sebuah studi terbaru menunjukkan bahwa beberapa orang dewasa dengan obesitas mungkin akan mengalami kesulitan saat bernapas sehingga sering salah didiagnosis sebagai asma. Ketika peneliti melihat faktor-faktor risiko yang menyebabkan kesalahan diagnosis, pengaruh obesitas belum menunjukan peranan yang jelas. Namun di antara pasien yang meminta perawatan di unit darurat karena masalah pernafasan pada setahun terakhir, orang dengan obesitas, 4 kali lebih sering salah didiagnosis sebagai asma dibandingkan orang dengan berat badan yang normal.

Penelitian ini telah dimuat pada jurnal CHEST, bulan Juni 2010, Vol 137 no 6 dengan judul A Comparison of Obese and Nonobese People With Asthma Exploring an Asthma-Obesity Interaction.(http://chestjournal.chestpubs.org/content/137/6/1316.abstract?sid=21fef794-9d81-4da3-88e0-c6aa03fc9ffd) Tidak bisa dipastikan alasan terjadinya kesalahan diagnosis atau resiko yang lebih tinggi terjadi di kalangan orang dewasa dengan obesitas yang memerlukan perawatan darurat. Menurut Dr Smita Pakhale dari Rumah Sakit Ottawa di Ontario, Kanada yang memimpin penelitian ini menyampaikan bahwa pemeriksaan spirometri sebagai tes standar fungsi paru, tidak sering digunakan dalam mendiagnosis asma. Asma harus didiagnosis berdasarkan gejala dan pemeriksaan fungsi paru. Hal ini mungkin menjadi faktor penyebab terjadinya beberapa kesalahan diagnosis tetapi itu hanya merupakan suatu spekulasi.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa orang dewasa dengan obesitas beresiko tinggi terhadap sejumlah masalah kesehatan yang dapat menyebabkan gejala seperti sesak napas dan nyeri dada. Pasien yang dikatakan memiliki penyakit asma setelah mendapat perawatan di ruang gawat darurat sering memastikan atau menindaklanjuti dengan dokter yang merawat di sarana pelayanan kesehatan primer.Mereka ingin mendapatkan pemeriksaan tambahan atau evaluasi kembali untuk mengetahui penyebab sebenarnya dari suatu gejala, bila ternyata tidak asma.

Penelitian dilakukan pada 496 orang yang didiagnosis asma oleh dokter (242 orang dengan obesitas dan 254 berat badan normal), 346 orang menderita asma dikonfirmasikan dengan pemeriksaan fungsi paru dan 150 orang didiagnosis asma diluar algoritme yang baku. Orang obesitas dengan asma secara bermakna lebih cenderung memiliki riwayat hipertensi dan penyakit reflux gastroesophageal dan FEV1 yang lebih rendah dibandingkan dengan orang berat badan normal dengan asma. Orang yang lebih tua, laki-laki dan FEV1 yang lebih tinggi lebih mungkin salah didiagnosa sebagai asma. Obesitas bukan predictor independent kesalahan diagnosis, namun ada interaksi antara obesitas dan kunjungan ke unit darurat karena gejala pernapasan. Odds rasio untuk terjadinya suatu kesalahan diagnosis asma bagi penderita obesitas dibandingkan dengan orang dengan berat badan normal adalah 4,08 (95 % CI , 1,23-13,5 ) bagi mereka dengan kunjungan ke unit darurat dalam 12 bulan terakhir .

Akhirnya, Dr Smita Pakhale dkk berkesimpulan bahwa orang obesitas dengan asma memiliki fungsi paru yang lebih rendah dan komorbiditas yang lebih dibandingkan dengan orang berat badan normal dengan asma. Orang dengan obesitas yang melakukan kunjungan ke unit darurat dengan gejala pernapasan lebih cenderung terjadi kesalahan diagnosis asma

PARACETAMOL MENYEBABKAN ASMA?

Sabtu, 17 Juli 2010


Paparan terhadap parasetamol selama intrauterin, masa anak-anak, dan saat dewasa dapat meningkatkan resiko terjadinya asma. Hal ini diketahui dari studi dari The International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) pada anak-anak dengan umur 6-7 tahun yang untuk menyelidiki hubungan antara penggunaani parasetamol dan asma. Penelitian ini telah dimuat pada The Lancet Journal, volume 372, issue 9643 tanggal 20 September 2008 dengan judul Association between paracetamol use in infancy and childhood, and risk of asthma, rhinoconjunctivitis, and eczema in children aged 6—7 years: analysis from Phase Three of the ISAAC programme (http://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736%2808%2961445-2/fulltext)

Orang tua atau wali anak usia 6-7 tahun diminta untuk menulis kuesioner tentang gejala asma, rhinokonjungtivitis, eksim dan beberapa faktor risiko termasuk penggunaan parasetamol untuk demam pada tahun pertama kehidupan anak dan frekuensi penggunaan parasetamol dalam 12 bulan terakhir.

Terdapat 205.487 anak usia 6-7 tahun pada 73 pusat penelitian di 31 negara yang dilibatkan dalam penelitian ini. Menurut Prof Richard Beasley dkk, setelah melalui analisis multivariat, penggunaan parasetamol untuk demam pada tahun pertama kehidupan dikaitkan dengan peningkatan risiko gejala asma saat berusia 6-7 tahun Penggunaan parasetamol berhubungan dengan risiko gejala asma berat dengan resiko populasi yang timbul antara 22% dan 38%. Parasetamol yang digunakan, baik pada tahun pertama kehidupan dan pada anak usia 6-7 tahun, juga dikaitkan dengan peningkatan risiko gejala rhinokonjungtivitis dan eksim. Selanjutnya disampaikan pada penelitian ini bahwa penggunaan parasetamol mungkin menjadi faktor risiko terjadinya asma di masa kanak-kanak.

FAKTOR KETURUNAN/GENETIKA DALAM MEMPREDIKSI PEMERIKSAAN FUNGSI PARU

Kamis, 15 Juli 2010


Penggunaan klasifikasi ras atau etnis dalam praktek medis dan penelitian telah menjadi bahan perdebatan. Ras dan etnis yang kompleks menggabungkan konstruksi sosial, budaya, dan faktor genetik. Saat ini, pemeriksaan fungsi paru adalah salah satu dari beberapa aplikasi klinis di mana faktor ras atau etnis suatu kelompok digunakan untuk menentukan rentang normal hasil pemeriksaan.

Suatu studi terbaru menunjukan bahwa pemeriksaan fungsi paru sering digunakan untuk mendiagnosa penyakit paru dan respirasi yang sesungguhnya mungkin perlu disesuaikan dengan perbedaan keturunan/genetik pasien. Saat ini dokter memperhitungkan hasil pemeriksaan dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin, ras dan berat badan, tetapi tidak untuk keturunan campuran.

Penelitian yang diterbitkan pada New England Journal of Medicine, volume 363, number 2 tanggal 8 Juli 2010 dengan judul Genetic Ancestry in Lung-Function Predictions (http://content.nejm.org/cgi/content/full/NEJMoa0907897?query=TOC) menunjukkan penyesuaian mungkin diperlukan karena banyak orang keturunan campuran, yang dapat mempengaruhi hasil tes. Ketika seorang pasien dipaksakan untuk masuk dalam suatu kelompok, misalnya Afrika-Amerika atau Kaukasia, dokter akan banyak kehilangan informasi genetik.

Dalam penelitian yang melibatkan lebih dari 3.000 pasien, para peneliti menemukan bahwa keturunan genetik secara signifikan mempengaruhi hasil pada pemeriksaan fungsi paru. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi tanda-tanda penyakit seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Menurut pemimpin studi ini, Dr Rajesh Kumar seorang profesor di Northwestern University Feinberg School of Medicine dengan mempertimbangkan faktor keturunan/genetik pada pemeriksaan bisa menghasilkan pengobatan yang lebih tepat untuk pasien. Seorang dokter spesialis paru dari Mayo Clinic, Dr Paul D. Scanlon mengatakan bahwa temuan studi ini merupakan "sebuah langkah maju dalam pemahaman kita." Pada umumnya hasil pemeriksaan orang kulit hitam berbeda dibandingkan orang kulit putih Jika hasil pemeriksaan tidak disesuaikan dengan fakta ini, pasien mungkin akan salah didiagnosis sebagai penyakit paru. Saat ini, alat ukurnya masih perlu disempurnakan karena tidak dirancang untuk seseorang dengan keturunan campuran.

Perokok lebih banyak menggunakan obat analgetik opioid dibandingkan non perokok

Senin, 12 Juli 2010


Menurut suatu studi dari Norwegia, perokok lebih banyak menggunakan obat analgesik opioid dibandingkan non-perokok. Para peneliti mengatakan bahwa dokter harus menanyakan pada pasiennya tentang kebiasaan merokok mereka sebelum meresepkan obat jenis opioid untuk nyeri yang tidak terkait dengan kanker. Sementara penggunaan obat penghilang rasa sakit untuk nyeri opioid kuat pada kasus non-kanker telah meningkat tajam di berbagai belahan dunia dan penggunaan obat ini masih kontroversial, terutama karena potensi adiktif obat ini. Beberapa faktor tertentu misalnya,riwayat pecandu alkohol atau penyalahgunaan narkoba dapat meningkatkan kemungkinan seseorang telah pernah menyalahgunakan opioid. Ada juga bukti bahwa kebiasaan merokok seseorang dapat mempengaruhi penggunaan opioid mereka.

Dr Svetlana Skurtveit dari Institut Kesehatan Publik Norwegia di Oslo dan rekan-rekannya mencatat dalam Annals of Epidemiology, online 2 Juni 2010 (www.annalsofepidemiology.org/article/S1047-2797(10)00055-4/abstract). Pada penelitian tersebut, mereka melibatkan hampir 13.000 pria dan hampir 16.000 perempuan dengan usia antara 30-75 tahun yang berpartisipasi dalam survei kesehatan antara tahun 2000 dan 2002. Tidak ada peresepan opioid saat studi dimulai. Selama tindak lanjut yang berlangsung sejak 2004 sampai 2007, 1,5 % dari peserta penelitian menerima 12 atau lebih resep opioid. Orang yang merokok sedikitnya 10 batang sehari di awal studi, kemungkinan 3 kali lebih banyak diresepkan opioid dibandingkan orang yang tidak pernah merokok, sedikitnya 12 kali selama masa tindak lanjut. Sementara orang yang merokok 1-9 batang per hari hampir 2 kali lipat diresepkan opioid . Bagi orang-orang yang sebelumnya merokok 10 batang atau lebih sehari, tapi saat ini sudah berhenti, kira-kira 2 kali lipat.

Penting untuk diketahui bahwa orang yang menerima setidaknya selusin resep opioid selama empat tahun tidak mesti menjadi kecanduan/menyalahgunakan obat Namun, penelitian terkini menunjukkan bahwa ketergantung pada nikotin mungkin memprediksi lebih sering penggunaan opioid. Ada banyak bukti dari suatu studi eksperimental terhadap efek nikotin dan opioid. Skurtveit dkk menambahkan, saat merokok juga dapat mempengaruhi persepsi terhadap nyeri .
Sehingga disarankan agar dokter harus mengetahui kebiasaan merokok pasien sebelum memulai pengobatan nyeri dengan opioid

Apakah pemberian obat steroid intravena terlalu berlebihan pada pasien PPOK?

Jumat, 09 Juli 2010


Telah dilaporkan bahwa, steroid oral dosis rendah tampaknya bekerja sebaik obat steroid intravena (IV) dosis tinggi pada pasien yang dirawat di rumah sakit dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) yang berat.
Namun, sekitar 90 persen pasien PPOK diberi dosis yang lebih tinggi, yang sesungguhnya bertentangan dengan panduan pemberian obat saat ini, suatu hasil studi yang telah dimuat pada Journal of American Medical Association, Volume 303, No.23 tanggal 16 Juni 2010, dengan judul “Association of Corticosteroid Dose and Route of Administration With Risk of Treatment Failure in Acute Exacerbation of Chronic Obstructive Pulmonary Disease” available from http://jama.ama-assn.org/cgi/content/abstract/303/23/2359?maxtoshow=&hits

Dokter harus mengikuti panduan pengobatan rumah sakit dan merawat pasien dengan steroid oral ,setidaknya bagi mereka yang memungkinkan penggunaan steroid oral. Sesungguhnya banyak pasien yang menerima steroid IV. Pasien PPOK yang kritis memang secara rutin diobati dengan kortikosteroid, bronkodilator dan antibiotik. Meskipun jelas bahwa steroid efektif dalam mengobati eksaserbasi PPOK, namun sesungguhnya belum jelas berapa dosis yang tepat.

Berdasarkan catatan medis pasien, para peneliti dari Massachusetts mencatat hampir 80.000 pasien yang dirawat dengan gejala PPOK berat di 414 rumah sakit AS pada 2006 dan 2007 . Semua pasien telah diberikan steroid pada dua hari pertama mereka dirawat. Studi ini tidak termasuk orang-orang yang membutuhkan perawatan di unit perawatan intensif. Ini adalah pasien yang sakit cukup pantas untuk dirawat di rumah sakit tetapi tidak cukup sakit untuk dirawat di ICU.

92% pasien dalam penelitian ini diberikan steroid IV dengan dosis yang lebih tinggi, sementara hanya 8 persen pasien diberikan obat steroid oral dan kedua kelompok memiliki hasil yang sama dengan 1,4 persen pasien dengan obat IV dan 1 persen yang memakai pil, akhirnya menjadi kritis/sekarat.Sementara itu, 10,9% pasien dengan obat IV dan 10,3 persen pasien dengan obat oral memelukan perawatan/tindakan lebih lanjut seperti pemasangan ventilasi mekanis, yang berarti steroid tidak berefek secara semestinya.20% pasien dengan obat steroid oral diganti dengan obat IV yang lebih kuat selama mereka dirawat di rumah sakit .


Eksaserbasi akut PPOK adalah peristiwa yang mengancam jiwa sehingga bisa dimengerti bahwa dokter ingin segera menggunakan“senjata pemungkas” mereka secepat mungkin, itu mungkin tindakan yang lebih baik tetapi sayangnya tidak benar. Pada akhirnya, walaupun tidak semua setuju pada pedoman penggunaan kortikosteroid yang benar pada pasien PPOK namun penggunaannya sering dibuat secara individual.

Memang sulit untuk menganggap ribuan pasien PPOK dan menjadikannya suatu model sebagai pasien tunggal. Mereka memiliki berbagai jenis masalah yang berbeda dan kebutuhan yang berbeda, dan dokter harus benar-benar membuat keputusan,….

Editorial Jurnal : Insufisiensi vitamin D terkait dengan serangan asma yang parah?

Sabtu, 03 Juli 2010


Penelitian yang dipimpin oleh Dr Augusto A. Litongua, dari Harvard Medical School di Boston, laporan penelitian telah dimuat pada Journal of Allergy & Clinical Immunology.Volume 126, hal 52-58.e5 ( Juli 2010)dengan judul "Serum Vitamin D Levels and Severe Asthma Exacerbations in the Childhood Asthma Management Program Study", available from http://www.jacionline.org/article/S0091-6749%2810%2900657-3/abstract

Penyakit asma pada anak-anak dengan kadar vitamin D yang relatif rendah dalam darah mereka mungkin akan memiliki resiko lebih besar untuk mendapat serangan asma yang parah/severe dibandingkan dengan yang memiliki kadar vitamin D yang lebih tinggi. Suatu studi penelitian terbaru yang mengamati lebih dari 1.000 anak dengan asma selama empat tahun, didapatkan bahwa anak dengan insufisiensi vitamin D di awal penelitian, lebih cenderung mengalami serangan asma yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Selama empat tahun penelitian, 38 persen anak-anak dengan insufisiensi vitamin D datang ke ruang gawat darurat dan dirawat dengan eksaserbasi asma. Hal yang sama juga terjadi pada 32 persen anak dengan kadar vitamin D tingkat yang cukup/sedang

Ketika para peneliti mempertimbangkan faktor-faktor lain termasuk tingkat keparahan asma di awal penelitian tersebut, berat badan dan penghasilan keluarga mereka, ternyata kekurangan vitamin D itu sendiri terkait dengan peningkatan resiko 50 persen pada serangan asma yang parah .

Orang dianggap memiliki kadar vitamin D dalam darah kurang dari 11 nanogram per milliliter ( ng / mL ) disebut defisiensi vitamin D, tetapi ada perdebatan tentang bagaimana mendefinisikan kadar vitamin D yang optimal dan apa yang direkomendasikan untuk asupan vitamin harian untuk anak dan orang dewasa. Beberapa ahli percaya bahwa kadar vitamin D di atas 30 ng / mL merupakan hal yang optimal untuk kesehatan secara keseluruhan dan kadar antara 11-30 ng / mL harus dinilai sebagai insufisiensi vitamin D. Pada studi mereka, Litongua dkk menganggap anak dengan kadar vitamin D 30 ng / mL atau kurang sebagai insufisiensi vitamin D.

Para peneliti mendapatkan bahwa 1.024 anak yang menderita asma ringan sampai sedang, diujikan dua obat asma inhaler yaitu budesonide dan nedocromil. Dengan menggunakan sampel darah yang diambil pada awal penelitian, Litongua dkk menemukan bahwa 35 persen dari anak-anak dengan insufisiensi vitamin D dan 65 persen anak yang memiliki kadar vitamin D yang cukup .

Secara keseluruhan, para peneliti tidak menemukan bukti bahwa kadar vitamin D yang cukup akan melindungi anak dari gejala asma sedang/moderate. Pada kenyataannya, anak-anak dengan kadar vitamin yang kurang lebih sedikit dilaporkan adanya gejala asma yang sedang/moderate. Namun, anak-anak tersebut lebih berisiko terhadap serangan asma yang parah/severe. Sementara temuan menunjukkan hubungan antara kadar vitamin D dan eksaserbasi asma, mereka tidak membuktikan bahwa vitamin D yang bertanggung jawab atau dengan kata lain tidak dapat di buktikan dengan asupan vitamin D akan mampu mencegah eksaserbasi asma.

Secara biologis, masuk akal kalau vitamin D akan mempengaruhi tingkat keparahan serangan asma, menurut Litongua dkk vitamin D banyak diketahui peranannya dalam membangun dan melihara tulang untuk tetap sehat, tetapi juga dibutuhkan saraf yang normal, otot dan fungsi sistem kekebalan tubuh . Beberapa penelitian telah menghubungkan rendahnya kadar vitamin D dengan resiko DM tipe 1 atau " insulin -dependent " lebih tinggi pada anak-anak dan orang dewasa.

Efek vitamin D pada sistem kekebalan tubuh meliputi respon inflamasi terhadap infeksi, mungkin dapat membantu menjelaskan mengapa kadar vitamin D yang lebih tinggi berhubungan dengan resiko lebih rendah terjadinya eksaserbasi asma yang parah. Menurut Litongua dkk, mungkin vitamin D akan meningkatkan efek hormon steroid anti inflamasi baik yang merupakan pasokan alami dalam tubuh maupun kortikosteroid sintetis yang digunakan untuk mengobati asma .

Dalam studi ini, terdapat hubungan yang menguntungkan antara vitamin D dan serangan asma terutama terlihat pada anak-anak dengan obat budesonide. American Academy of Pediatrics merekomendasikan bahwa bayi, anak dan remaja untuk mendapatkan 400 IU vitamin D setiap hari . Susu sereal dan jus jeruk diperkaya dengan vitamin yang merupakan sumber utama dan beberapa lemak ikan secara alami mengandung vitamin D dalam jumlah tinggi. Para ahli merekomendasikan pil vitamin untuk anak-anak yang tidak mendapatkan cukup vitamin dari makanan.

Vitamin D secara alami disintesis dalam kulit ketika terkena sinar matahari, tetapi pada musim dingin yang panjang dan sering menghindari sinar matahari di musim panas berarti akan banyak anak yang tidak mendapatkan cukup vitamin D dengan cara ini. Sebagai tambahan, vitamin D sintetik kurang efisien pada orang dengan kulit lebih gelap dan ras Amerika-Afrika lebih beresiko defisiensi vitamin D dibandingkan ras kulit putih.Kegemukan pada anak dan orang dewasa juga lebih berisiko tinggi defisiensi vitamin D karena banyak disimpan dalam lemak tubuh sehingga vitamin kurang aktif didalam darah.