Smoking is highly addictive, don't start

don't make them breathe your smoke

Smoking when pregnant harms your baby

Smokers die younger
World Health Day 2011 web button

BUKAN TENAGA MEDIS BIASA

Senin, 05 September 2011


Kick Andy Show: Mencapai masyarakat sehat dan sejahtera sejatinya bukanlah sebuah slogan belaka, tapi benar-benar sesuatu yang memang harus diperjuangkan. Dan inilah kisah pejuang-pejuang kesehatan masyarakat yang bekerja dengan kesungguhan hati, mengabdi demi kesehatan sesama manusia. Bahkan sebagian rela bekerja tanpa gaji.

Adalah bidan Eulis Rosmiati yang bertugas di desa Ujung Genteng, Sukabumi, Jawa Barat, dengan warga desa yang memiliki pengetahuan minim tentang pentingnya kesehatan. Ia bertugas sejak tahun 2008. Sebagai bidan, ia tak sekedar membantu proses persalinan saja. Eulis juga terus membangun dan memberdayakan masyarakat desa dengan program-program unik kreasinya.

Misal, untuk mengatasi urusan buang hajat masyarakat yang masih sembarangan, ia tak sungkan membuat gebrakan baru dengan membentuk kelompok arisan WC, dengan tujuan untuk meningkatkan jumlah warga sehat. Dan Eulis juga menciptakan program iuran yang disesuaikan dengan kemampuan mata pencaharian masing-masing penduduk di desa sebagai dana cadangan saat diperlukan mendadak untuk pengobatan dan biaya persalinan.

Sebut saja program meronce kasih, program untuk warga yang bekerja sebagai nelayan yang mengumpulkan satu kilo ikan dengan kualitas paling rendah setiap habis pergi melaut. Ikan yang dikumpulkan itu, kemudian dijual pada tengkulak dan uangnya-pun disimpan sebagai biaya cadangan. Begitu-pun dengan program lainnya, seperti seliber beras, sagandu saminggu, lima ribu kasih dan banyak lagi. “Sejak awal tahun ini, masyarakat banyak yang sudah dapat jamkesmas, sehingga uang hasil iuran itu sudah dipakai untuk keperluan pembangunan lain,” ujar Eulis saat tampil di Kick Andy.

Tentu saja, Eulis juga senantiasa memperhatikan kesehatan dan kesiapan ibu hamil untuk dapat menjalani persalinan yang sehat dan selamat. Ia kemudian menggagas program rumah singgah, yakni pemberdayaan rumah warga setempat pengganti puskesmas sebagai tempat persalinan yang layak untuk ibu bersalin.

Kini berkat program meningkatkan kesehatan masyarakat, kesehatan dan kesejahteraan desa Ujunggenteng pun semakin baik, hingga terkenal ke luar pelosok Sukabumi. Sebagai bidan-pun Eulis Rosmiati mendapat penghargaan dengan menyandang gelar sang teladan kesehatan 2011.

Kisah lain datang dari Jambi. Tentang Syamsinar Rasyad, perempuan berusia 58 tahun, yang sudah 20 tahun mengabdi sebagai seorang relawan dari Perkumpulan Pemberantas Tuberkulosis Indonesia (PPTI).

Umi, panggilan akrab ibu Syamsinar, setiap hari ia selalu berkeliling kampung untuk mencari penderita TBC, meskipun ia bukan seorang tenaga peramedis. Tak jarang ia harus bejalan jauh untuk menemui pasien-pasiennya. Selain menemui langsung para pasien, ia juga melakukan sosialisasi dari mesjid ke mesjid, menghimbau agar para penderita tuberculosis, untuk mau didampingi untuk berobat di klinik PPTI.

Tak jarang Syamsinar mendapat cibiran dari masyarakat, terhadap apa yang dilakukannya. Meski demikian, Syamsinar tak patah arang. Hingga saat ini ia sudah menolong sedikitnya 185 orang yang sembuh dari TBC. Artinya, setiap tahun ia menyelamatkan jiwa rata-rata 10 orang atau lebih. “Dulu ada orang petani yang kena TBC parah, setelah mengkuti pengobatan dia sembuh. Sekarang kebun kelapa sawitnya dah 10 hektar,” papar Syamsinar tentang salah satu pasiennya. “Dan itu yang membuat saya bangga untuk terus mengabdi,” tambahnya.

Sementara itu, dari kota Agam, Bukit Tinggi, ada dokter gigi yang melebarkan misi kedokterannya. Dokter gigi Salvi Raini adalah kepala Puskesmas di Kecamatan Biaro, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Saat memulai programnya, Salvi menghadapi tantangan budaya dan adat yang cukup ketat di daerah kerjanya, di mana permasalahan narkoba masih dianggap sebagai suatu hal tabu yang tidak pantas untuk diungkapkan ke publik. Sehingga sering kali warga yang keluarganya terjerumus ke dalam permasalahan narkoba, tidak mengetahui kemana harus mencari bantuan pemulihan bagi anggota keluarganya dari kecanduan obat-obatan. Dengan menutupi permasalahan ini, justru membuka resiko bagi terjadinya penularan penyakit akibat penggunaan narkoba, seperti HIV dan AIDS.

Salvi mengambil langkah yang mendobrak kebiasaan ini dengan melakukan pendekatan dan penyuluhan kepada warga, sehingga para korban narkoba tidak segan dan takut untuk mendapatkan pengobatan dan rehabilitasi. Salvi juga melakukan pendekatan ke pihak kepolisian, sehingga pasien pecandu narkoba tidak mempunyai rasa takut akan ditahan bila berkonsultasi di Puskesmas Biaro. "Melihat masyarakat menjadi lebih baik, adalah sesuatu yg menyenangkan lebih dari apapun," ujarnya.http://www.blogger.com/img/blank.gif

Dan dari pulau Bali, ada kisah tentang seorang bidan asal Amerika, yang mengabdi bagi banyak perempuan di negeri in.

Inilah kisah-kisah penuh inspirasi dari orang-orang yang peduli sesama.

Sumber :
http://kickandy.com/theshow/1/1/2166/read/BUKAN-TENAGA-MEDIS-BIASA-

Jumat, 2 September 2011

You Can Control Your Asthma

Selasa, 03 Mei 2011


Asma adalah penyakit peradangan kronis pada saluran nafas berupa hiperesponsif nya saluran nafas yang menyebabkan terjadinya obstruksi dan pembatasan aliran udara oleh karena terjadinya bronkokonstriksi, gumpalan mukus dan peningkatan peradangan ketika terjadinya pajanan terhadap faktor resiko. Penyakit ini ditandai mengi episodik, batuk, dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas yang berbeda dalam tingkat keparahan dan frekuensi diantara penderita dan termasuk dalam kelompok penyakit saluran pernapasan kronik. Asma mempunyai tingkat fatalitas yang rendah namun jumlah kasusnya cukup banyak ditemukan dalam masyarakat. Meskipun tingkat kematian asma tidak seperti Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau penyakit kronis lainnya, pengobatan yang tidak tepat atau tidak patuh terhadap pengobatan dapat menyebabkan kematian.

WHO memperkirakan bahwa sekitar 300 juta orang saat ini menderita asma dan asma adalah penyakit kronis yang paling umum terjadi pada anak-anak. Sebanyak 255 ribu orang meninggal karena asma pada tahun 2005. Penyakit ini terus meningkat selama 20 tahun belakangan ini yang apabila tidak di cegah dan ditangani dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi yang lebih tinggi lagi pada masa yang akan datang serta mengganggu proses tumbuh kembang anak dan kualitas hidup pasien.

Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di semua negara bukan hanya pada negara dengan tingkat pendapatan yang tinggi. Terlepas dari tingkat keparahan asma, 80 % lebih kematian akibat asma terjadi pada negara-negara dengan pendapatan yang rendah atau menengah kebawah. Asma sering kali tidak didiagnosis dengan benar (underdiagnosis) sehingga pengobatannyapun tidak optimal. Hal Ini menciptakan beban besar untuk individu dan keluarga dan sering menghambat aktivitas individu tersebut seumur hidupnya.

Berdasarkan hasil suatu penelitian di Amerika Serikat hanya 60% dokter ahli paru dan alergi yang memahami panduan tentang asma dengan baik, sedangkan dokter lainnya 20%-40%. Tidak mengherankan bila tatalaksana asma belum sesuai dengan yang diharapkan. Di masyarakat masih banyak dijumpai pemakaian obat anti asma yang kurang tepat dan masih tingginya kunjungan pasien ke unit gawat darurat, perawatan inap bahkan perawatan intensif. Studi di Asia Pasifik baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika Serikat dan Eropa. Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya. Hal ini disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang masih jauh dari pedoman yang direkomendasikan Global Initiative for Asthma (GINA).

Di Indonesia prevalensi asma belum diketahui secara pasti, namun hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 prevalensi asma masih 2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survei asma pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7%-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8% tahun 1995 dan tahun 2001 di Jakarta Timur sebesar 8,6%. Berdasarkan gambaran tersebut di atas, terlihat bahwa asma telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian secara serius.

Pengamatan di 5 propinsi di Indonesia (Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan) yang dilaksanakan oleh Subdit Penyakit Kronik dan Degeneratif Lain pada bulan April tahun 2007, menunjukkan bahwa pada umumnya upaya pengendalian asma belum terlaksana dengan baik dan masih sangat minimnya ketersediaan peralatan yang diperlukan untuk diagnosis dan tatalaksana pasien asma difasilitas kesehatan.

Penyebab dasar asma tidak sepenuhnya dipahami. Faktor risiko terkuat untuk pengembangkan terjadinya asma adalah kombinasi dari predisposisi genetik dengan pajanan lingkungan terhadap zat dihirup dan partikel yang dapat menimbulkan reaksi alergi atau mengiritasi saluran udara, seperti:
• Alergen dalam ruangan (misalnya untuk tungau rumah, debu di tempat tidur, karpet dan boneka, polusi dan ketombe binatang peliharaan)
• Alergen luar ruangan (seperti serbuk sari dll)
• Asap tembakau
• Zat kimia di tempat kerja
• Polusi udara

Hal lainnya yang dapat memicu terjadinya asma yaitu udara dingin, emosional yang amat sangat seperti marah atau takut,dan latihan fisik. Bahkan obat-obat tertentu dapat memicu asma seperti aspirin dan obat anti-inflamasi non-steroid, dan beta-blocker (yang digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi, kondisi jantung dan migren.

Terdapat 4 komponen dalam penanganan asma :
1. Membina hubungan baik pasien dan dokter
2. Mengidentifikasi dan mengurangi pajanan terhadap faktor resiko
3. Menilai, mengobati dan memonitor asma secara tepat
4. Penanganan eksaserbasi asma

Meskipun asma tidak bisa disembuhkan, penerapan 4 komponen penanganan asma tersebut dapat mengontrol penyakit dan memungkinkan orang untuk menikmati kualitas hidup yang baik.serta diharapkan dapat mengurangi rawat inap karena asma sebanyak 50% pada tahun 2015.

Obat asma terdiri dari atas obat pelega (reliever) dan obat pengontrol (controller). Obat pelega digunakan saat asma sedang kambuh untuk meredakan serangan asma. Obat yang termasuk di dalamnya bertujuan melebarkan jalan napas. Obat pelega berefek cepat namun efeknya cepat menurun sehingga obat jenis ini hanya digunakan bila perlu yaitu bila ada tanda atau gejala serangan asma. Obat pengontrol digunakan sehari-hari untuk mengatasi peradangan (inflamasi) yang terjadi, agar menjaga paru dan saluran napas penderita asma tidak semakin rusak. Obat ini tidak diperuntukan bagi serangan asma. Obat asma dapat diberikan dengan penyuntikan, infus maupun diminum. Selain itu, ada pula obat asma yang penggunaannya dihisap atau disemprotkan (inhaler). Sedangkan obat yang berupa injeksi dan infus biasanya diberikan di rumah sakit. Untuk penggunaan sehari-hari di rumah, penggunaan obat semprot dan hisap (inhaler) lebih dianjurkan karena dengan cara dihisap, obat langsung bekerja cepat dan tepat ke saluran napas. Dosis yang diberikanpun kecil yaitu 1/20 dosis obat minum sehingga efek samping minimal dan aman bila dipakai jangka panjang.

Pada tahun 2003, GINA menetapkan klasifikasi asma berdasarkan tingkat keparahannya seperti Intermittent, Mild Persistent, Moderate Persistent dan Severe Persistent. Sejak tahun 2008 klasifikasi ditetapkan berdasarkan tingkat kontrolnya yaitu Controlled (terkontrol), Partly Controlled (terkontrol sebagian) dan Uncontrolled (tidak terkontrol). Sehingga tujuan utama pengobatan asma adalah mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol. Asma terkontrol dapat dicapai pada sebagian besar pasien asma dengan pengelolaan yang baik. Asma dikatakan terkontrol bila :
• Tidak ada (atau minimal) gejala-gejala asma.
• Tidak bangun di malam hari karena asma.
• Tidak ada (atau minimal) penggunaan obat pelega (reliever)
• Kemampuan untuk melakukan aktivitas fisik dengan normal dan berolahraga
• Normal (atau mendekati normal) hasil uji fungsi paru (PEF dan FEV 1)
• Tidak ada (atau sangat jarang) terjadinya serangan asma

Pada penelitian di beberapa multi center hanya 5% di Eropa Barat dan 2,5% di Asia Pasifik penderita asma yang terkontrol baik. Dari sekian banyak faktor yang menyebabkan kontrol asma yang rendah terdapat dua faktor yang tampaknya memegang andil besar yaitu faktor dokter dan pasien. Dokter terlalu rendah menilai asma dan kemudian meresepkan obat yang tidak adekuat. Obat pengontrol asma seperti kortikosteroid inhalasi sangat rendah pemakaiannya, para dokter lebih suka menggunakan obat pelega dan bahkan obat batuk dan antibiotika yang seharusnya tidak diperlukan. Dilain sisi pasien merasa dirinya sudah terkontrol, apalagi adanya pemahaman “No symptoms No Asthma” menyebabkan pasien hanya berobat kalau ada gejala saja tanpa perlu memakai obat pengontrol.

Saat ini peneliti berupaya untuk menentukan alat ukur yang bisa mewakili kontrol asma secara keseluruhan mulai dari pengukuran salah satu variable sampai pada gabungan beberapa variable sehingga sasaran pengobatan menjadi jelas. Saat ini setidaknya terdapat 5 alat ukur berupa kuisioner baik atau dengan pemeriksaan fungsi paru. Salah satunya adalah Asthma Control Test (ACT) yang di perkenalkan oleh Nathan dkk tahun 2004. Kuisioner ACT ini telah diuji coba di Poliklinik alergi-imunologi klinik Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM dengan hasil keandalan internal 83%, keandalan interklas 92% kesahihan dengan fungsi paru 24%, dan kesahihan dengan penilaian klinis 74% sehingga dapat disimpulkan ACT ini dapat dipakai di masyarakat kita. Manfaat dari asma yang terkontrol dapat menurunkan kunjungan ke Unit Gawat Darurat dan menurunkan perawatan di rumah sakit.

Kontrol asma di Indonesia termasuk rendah karena pengetahuan dokter dan masyarakat masih kurang. Terdapat suatu penelitian kalau penggunaan kortikosteroid inhalasi masih kurang di Indonesia dan pemeriksaan fungsi paru hanya 1,5% yang dilakukan secara teratur. Selain kendala pengetahuan, menurut GINA distribusi obat di Indonesia masih belum baik selain ketidakmampuan dan daya beli masyarakat yang tinggi. Perlunya upaya untuk meningkatkan pengetahuan tentang asma kepada petugas kesehatan dan juga pada masyarakat. Bantuan pemerintah dalam memproduksi obat asma yang murah yang terjangkau juga merupakan hal yang penting terutama obat-obat kortikosteroid inhalasi maupun kombinasi kortikosteroid dan agonis beta-2 inhalasi kerja panjang/lama.

Apakah Asma Anda Terkontrol?

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa telah dikembangkan suatu kuisioner untuk menilai status kontrol asma seseorang dengan menggunakan Asthma Control Test (ACT). ACT adalah sebuah tes sederhana yang dapat membantu mengevaluasi apakah penyakit asma telah terkontrol dengan baik.

Asthma Control Test

1. Dalam 4 minggu terakhir, seberapa sering asma mengganggu anda untuk melakukan pekerjaan sehari-hari di kantor, di sekolah atau di rumah?
1) Selalu
2) Sering
3) Kadang-kadang
4) Jarang
5) Tidak pernah

2. Dalam 4 minggu terakhir seberapa sering anda mengalami sesak nafas?
1) Lebih dari 1 kali sehari
2) Sesekali sehari
3) 3-6 kali seminggu
4) 1-2 kali seminggu
5) Tidak pernah

3. Dalam 4 minggu terakhir seberapa sering gejala-gejala asma (bengek, batuk-batuk, sesak nafas atau rasa tertekan di dada) menyebabkan anda terbangun di malam hari atau lebih awal dari biasanya?
1) 4 kali atau lebih dalam seminggu
2) 2-3 kali seminggu
3) Sekali seminggu
4) 1-2 kali sebulan
5) Tidak pernah

4. Dalam 4 minggu terakhir seberapa sering anda menggunakan obat semprot atau obat oral (tablet/syrup) untuk melegakan pernafasan?
1) 3 kali atau lebih sehari
2) 1-2 kali sehari
3) 2-3 kali seminggu
4) 1 kali seminggu atau kurang
5) Tidak pernah

5. Bagaimana anda sendiri menilai tingkat control asma anda dalam 4 minggu terakhir?
1) Tidak terkontrol sama sekali
2) Kurang terkontrol
3) Cukup terkontrol
4) Terkontrol dengan baik
5) Terkontrol sepenuhnya

Jumlahkan nilai masing-masing pertanyaan untuk mendapatkan nilai total
Arti nilai ACT :
• 25 : Terkontrol Penuh
• 20-24 : Terkontrol Sebagian
• ≤ 19 : Tidak Terkontrol


Memperingati Hari Asma Sedunia
Selasa, 3 Mei 2011

MEMERANGI RESISTENSI OBAT : No Action Today, No Cure Tomorrow

Rabu, 06 April 2011


Hari Kesehatan Sedunia dirayakan setiap tanggal 7 April untuk menandai berdirinya WHO pada tahun 1948 dan mulai sejak tahun 1950, Hari Kesehatan Sedunia mulai dirayakan setiap tahunnya. WHO memilih satu masalah kesehatan setiap tahunnya sebagai tema dan mengajak masyarakat seluruh dunia untuk meningkatkan semangat, kepedulian, komitmen dan gerak nyata dalam mencapai derajat kesehatan dan kesejahteraan secara optimal. Pada hari Kesehatan Sedunia diluncurkan program-program advokasi jangka panjang yang akan terus berlanjut.

Tahun ini WHO menetapkan tema “Combat Drug Resistance” sedangkan Indonesia memilih tema “Gunakan Antibiotik Secara Tepat untuk Mencegah Kekebalan Kuman”. Tema ini dipilih karena penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat membahayakan kesehatan masyarakat secara global maupun secara individu. Hal itu juga sejalan dengan salah satu tujuan kebijakan obat nasional yaitu penggunaan obat secara rasional.

Obat antimikroba adalah obat digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme, termasuk bakteri, jamur, parasit dan virus. Penemuan obat antimikroba adalah salah satu dari kemajuan yang sangat penting dalam sejarah kesehatan selama 70 tahun terakhir. Antimikroba termasuk antibiotik, obat kemoterapi, obat antijamur, obat antiparasit dan obat antivirus. Sedangkan resistensi antimikroba (Antimicrobial resistance/AMR) adalah resistensi mikroorganisme pada obat antimikroba untuk yang sebelumnya sensitif. Organisme yang resisten ( bakteri, virus dan beberapa parasit) mampu menahan serangan obat-obatan antimikroba, sehingga pengobatan standar menjadi tidak efektif dan infeksi tetap berlanjut dan dapat menyebar kepada orang lain. AMR merupakan konsekuensi dari penggunaan, terutama penyalahgunaan obat-obatan antimikroba dan terjadi karena mutasi mikroorganisme atau terjadinya resistensi gen.

Penggunaan obat secara rasional (POR) yaitu pasien mendapatkan pengobatan sesuai kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang tepat bagi kebutuhan individualnya untuk waktu yang cukup dan biaya yang terjangkau bagi diri dan komunitasnya. Jadi POR memiliki empat aspek yaitu pengobatan tepat, dosis tepat, lama penggunaan yang tepat serta biaya yang tepat.Penggunaan obat yang tidak rasional terjadi di seluruh dunia. Ditandai, penggunaan obat terlalu banyak/tidak sesuai dosis dan lama konsumsi tidak tepat, peresepan obat tidak sesuai diagnosis serta pengobatan sendiri dengan obat yang seharusnya dengan resep dokter.

Hal ini sesuai dengan beberapa fakta yang tejadi di dunia saat ini :
• Infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme yang resisten sering kali gagal merespon pengobatan yang konvensional dan menyebabkan penyakit yang berkepanjangan dan menyebabkan resiko kematian yang lebih besar.
• Sekitar 440.000 kasus baru multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB) muncul setiap tahun, menyebabkan setidaknya 150.000 kematian.
• Resistensi terhadap obat antimalaria generasi lama seperti klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin tersebar luas di negara-negara dengan endemik malaria
• Tingginya persentase dari infeksi yang didapat di rumah sakit (hospital-acquired infections) disebabkan oleh bakteri yang sangat resisten seperti methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA).
• Tidak tepat dan tidak rasionalnya penggunaan rasional obat antimikroba memberikan kondisi yang menguntungkan bagi mikroorganisme yang resistan untuk tetap tumbuh menyebar dan bertahan hidup.

Lebih dari 50 persen obat-obatan diresepkan, diberikan atau dijual tidak semestinya. Akibatnya lebih dari 50 persen pasien gagal mengkonsumsi obat secara tepat. Padahal, penggunaan obat berlebih, kurang atau tidak tepat akan berdampak buruk pada manusia dan menyia-nyiakan sumber daya. Lebih dari 50 persen negara di dunia tidak menerapkan kebijakan dasar untuk mempromosikan penggunaan obat secara rasional (POR). Di negara-negara berkembang, kurang dari 40 persen pasien di sektor publik dan 30 persen di sektor swasta diberikan perawatan sesuai panduan klinis.

AMR menjadi perhatian global


• Infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme yang resisten sering gagal untuk merespon pengobatan standar, mengakibatkan sakit yang berkepanjangan dan resiko kematian yang lebih besar.
• AMR mengurangi efektivitas pengobatan karena pasien tetap menular, sehingga berpotensi menyebarkan mikroorganisme yang resisten tersebut kepada orang lain.
• AMR mengancam kembali ke era pra-antibiotik.Banyak penyakit menular risiko menjadi tak terkendali dan bisa menyebabkan kegagalan untuk mencapai target PBB pada MDG’s tahun 2015
• Pencapaian kedokteran modern saat ini berada dalam risiko oleh AMR. Tanpa adanya antimikroba yang efektif untuk perawatan dan pencegahan infeksi, keberhasilan terapi sulit tercapai seperti transplantasi organ, kemoterapi kanker dan operasi besar
• Bila infeksi yang terjadi resisten terhadap obat lini pertama, terapi yang lebih mahal harus digunakan. Penyakit dan pengobatan dengan durasi lebih panjang, sering dirawat di rumah sakit, meningkatkan biaya kesehatan dan beban keuangan untuk keluarga dan masyarakat.
• Pencapaian kedokteran modern berada dalam risiko oleh AMR. Tanpa antimikroba yang efektif untuk perawatan dan pencegahan infeksi, keberhasilan terapi seperti transplantasi organ, kemoterapi kanker dan operasi besar akan dikompromikan.
• Pertumbuhan perdagangan global dan perjalanan ke antar negara dan benua memungkinkan penyebaran mikroorganisme yang resisten dapat menyebar dengan cepat

Tidak tepat dan tidak rasionalnya penggunaan obat, memberikan kondisi yang menguntungkan bagi mikroorganisme yang resisten untuk tetap berkembang dan menyebar. Misalnya, ketika pasien tidak meminum obat antimikroba seperti yang ditentukan atau ketika obat antimikroba berkualitas buruk yang digunakan, maka mikroorganisme yang resisten tetap dapat berkembang dan menyebar. Faktor-faktor yang mendasari terjadinya AMR

• Tidak komitmennya kebijakan nasional untuk merespon secara komprehensif, terkoordinasi, akuntabilitas serta kurang melibatkan masyarakat
• Pengawasan dan sistem pemantauan yang lemah atau bahkan tidak ada
• Sistem yang tidak memadai untuk menjamin kualitas obat yang beredar
• Tidak tepat dan tidak rasional penggunaan obat-obatan, termasuk di peternakan
• Kurangnya pencegahan infeksi dan penegendalian praktek kesehatan
• Kurang cakapnya dalam penegakan diagnosis, obat-obatan dan vaksin serta penelitian yang kurang serta tidak ada pengembangan produk baru.

Munculnya AMR merupakan masalah yang kompleks yang didorong oleh faktor saling berhubungan. Perhatian penuh pada multi-sektoral secara global dan nasional sangat diperlukan untuk memerangi ancaman dari AMR.Oleh karena itu, WHO bergerak untuk menanggulangi AMR ini melalui :

• Kebijakan dan dukungan dalam pengawasan, bantuan teknis, sosialisasi pengetahuan dan kemitraan, termasuk melalui pencegahan penyakit dan program pengendalian
• Menjaga kualitas obat, penyediaan dan pemanfaatan yang rasional
• Pencegahan dan pengendalian infeksi;
• Menjaga keselamatan/kesehatan pasien
• Jaminan mutu laboratorium.

Rendahnya kesadaran masyarakat dalam penggunaan obat yang tidak rasional perlu diwaspadai dampaknya, khususnya pada generasi muda mendatang. Apalagi pemakaian antibiotika yang tidak berdasarkan ketentuan (petunjuk dokter) menyebabkan tidak efektifnya obat tersebut sehingga kemampuan membunuh kuman berkurang atau resisten. Jika hal itu terjadi, generasi muda mendatang akan mengalami kerugian yang sangat besar. Akan banyak penyakit yang tidak dapat lagi disembuhkan akibat resistensi. Sedangkan untuk mengembangkan antibiotik yang baru diperlukan waktu dan biaya yang sangat besar. Untuk itu perlu penggunaan obat secara rasional untuk mencegah masalah besar di masa yang akan datang. Langkah-langkah antisipasi untuk meningkatkan perilaku penggunaan obat secara rasional sudah saatnya dilakukan. Upaya itu meliputi pendidikan masyarakat, pengawasan kepada petugas kesehatan dan ketersediaan obat secara simultan yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak-pihak terkait.

WHO telah memilih “Memerangi resistensi antimikroba” sebagai tema Hari Kesehatan Sedunia 2011. WHO mengharapkan agar hari kesehatan dunia ini sebagai momentum untuk aksi bersama dalam menghentikan penyebaran resistensi antimikroba. WHO menyerukan kepada semua pemangku kebijakan, termasuk para pembuat kebijakan dan perencana, masyarakat dan pasien, praktisi dan pemberi resep obat, apoteker dan industri farmasi, untuk bertindak dan turut serta untuk memerangi resistensi antimikroba.

WORLD TB DAY 2011

Kamis, 24 Maret 2011


Setiap tanggal 24 Maret diperingati sebagai Hari TB sedunia (World TB Day) sebagai peringatan ditemukan kuman TB oleh Robert Koch tepatnya pada 24 Maret 1882. Sejak tahun tersebut hingga saat ini, penyakit TB masih jauh dari penyelesaian, bahkan timbul masalah-masalah baru. Munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan resiko TB secara signifikan. Pada saat yang sama kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB ( multidrug resistance= MDR) semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan ini pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemi TB yang sulit ditangani.

Secara keseluruhan, sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB. Laporan WHO tahun 2009 menunjukan bahwa terdapat 9,4 juta kasus TB baru (3,3 juta pada wanita dan 1,1 juta dgn HIV). Terdapat 1.7 juta orang meninggal (380.000 pada wanita dan 380 000 dengan HIV). Hal ini setara dengan sekitar 5000 orang meninggal oleh karena TB per tahun atau sekitar 200 kematian per jam. Estimasi angka insiden secara global tahun 2009, terdapat 137 kasus per 100.000 penduduk sedangkan pada tahun 2004 terdapat 142 kasus per 100.000 penduduk. Memang menunjukan penurunan tetapi penurunan tersebut masih terlalu lambat

Pada bulan Januari 2006 pada Forum Ekonomi sedunia di Swiss dicanangkan The Global Plan to Stop TB 2006-2015 dimana dilakukan upaya dan langkah-langkah strategis untuk mencapai tujuan Millenium Development Goal (MDGs) tahun 2015 yaitu mampu menurunkan insiden TB, kemudahan akses pelayanan TB dan mengobati semua penderita TB sehingga diharapkan 14 juta orang akan terselamatkan, 50 juta penderita TB terobati, sekitar satu juta penderita terobati dari Multi Drug Resistance (MDR), penemuan obat TB yang baru, vaksin TB terbaru di tahun 2015 serta test diagnostik yang cepat dan murah.

Peringatan hari TB sedunia pada tahun 2011 ini merupakan kampanye tahun kedua dengan tema On the move against tuberculosis: Transforming the fight towards elimination. Kampanye tahun ini menantang kita untuk melihat perjuangan melawan TB dengan cara yang sama sekali berbeda, bahwa setiap langkah harus merupakan langkah menuju pemberantasan TB. Kampanye ini terinspirasi oleh tujuan ambisius dan target dari Global Plan to Stop TB 2011-2015: Transforming the fight towards elimination , yang diluncurkan oleh Stop TB Partnership pada bulan Oktober 2010. Rencana baru ini untuk pertama kalinya, mengidentifikasi semua penelitian mengenai tes diagnosis TB secara cepat, regimen pengobatan yang lebih cepat dan vaksin yang efektif, termasuk bagaimana memodernisasi laboratorium diagnostik dan mengadopsi tes TB revolusioner yang baru-baru ini telah dikembangkan.
Selama ini pengobatan TB masih menunjukan hasil yang belum memuaskan sehingga harus terus meningkatkan usaha dan mencari cara-cara baru dan inovatif untuk menghentikan TB jika ingin mencapai Millenium Development Goal (MDGs) tahun 2015.

Kampanye ini difokuskan pada individu di seluruh dunia yang telah menemukan cara baru untuk baru menghentikan TB dan dapat menjadi inspirasi bagi orang lain.
• Penelitian yang ditujukan untuk diagnostik, obat-obatan atau vaksin terbaru
• Perawatan TB yang lebih efektif dan efisien
• Pendekatan baru yang membantu orang untuk mendapatkan akses diagnosis dan pengobatan TB
• Kemitraan dalam bekerja sama memerangi TB
• Kemajuan dalam perawatan TB dan mengintegrasikan ke dalam sistem kesehatan
• Pendekatan baru untuk mendapatkan dukungan dari anggota masyarakat untuk orang yang terkena TB
• Cara inovatif untuk meningkatkan kesadaran tentang TB.

Strategi yang telah dikembangkan oleh WHO dalam penanggulangan TB adalah DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) yang sampai saat ini secara ekonomi paling efektif. Di Indonesia dilakukan suatu studi cost benefit penerapan strategi DOTS dan didapatkan hasil setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program penanggulangan TB akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan penderita dengan prioritas pada penderita TB yang menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demikian akan menurunkan insiden TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan penderita merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.

Kampanye ini akan berfokus sekali lagi pada individu-individu di seluruh dunia yang telah menemukan cara baru untuk menghentikan TB dan dapat berfungsi sebagai inspirasi bagi orang lain. Idenya adalah untuk mengenali orang-orang yang telah memperkenalkan berbagai inovasi dalam berbagai pengaturan. Merupakan suatu kebutuhan akan suatu cara baru dalam aksi penanggulangan TB.

Legionellosis

Minggu, 23 Januari 2011


Legionellosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman gram negatif, bakteri aerobik yang termasuk ke dalam genus Legionella. Lebih dari 90% kasus legionellosis disebabkan oleh Legionella pneumophila, merupakan organisme akuatik yang bisa berada dimana saja, dapat tumbuh pada suhu antara 25 dan 45° C (77 dan 113° F), dengan suhu optimum sekitar 35 ° C (95 ° F). Terdapat dua bentuk dari Legionellosis yaitu:

1. Penyakit Legionnaire, yang dikenal juga dengan Demam Legion yang menimbulkan penyakit yang lebih parah sampai bisa terjadi suatu pneumonia.
2. Demam Pontiac, yang disebabkan oleh bakteri yang sama tetapi dengan keluhan penyakit yang lebih ringan, tanpa pneumonia dan menyerupai influenza akut biasa.

Nama penyakit Legionnaire berawal pada bulan Juli 1976 ketika terjadi suatu wabah pneumonia orang-orang yang menghadiri konvensi Legiun Amerika di Hotel Bellevue-Stratford di Philadelphia. Pada tanggal 18 Januari 1977 agen penyebab telah diidentifikasi yang sebelumya dikatakan sebagai bakteri yang tidak diketahui, kemudian diketahui bernama Legionella. Beberapa orang dapat terinfeksi dengan bakteri Legionella dan hanya memiliki gejala-gejala ringan atau tanpa sakit sama sekali.

Gejala
Penyakit Legionnaire biasanya mulai terjadi 2- 14 hari setelah terpapar bakteri legionella. Hal ini sering dimulai dengan tanda-tanda dan gejala berikut:
• Sakit kepala
• Nyeri otot
• Panas dingin
• Demam yang mungkin 104 F (40°C) atau lebih tinggi
Pada hari kedua atau ketiga :
• Batuk, yang mungkin disertai dahak dan terkadang darah
• Sesak napas
• Nyeri dada
• Kelelahan
• Kehilangan nafsu makan
• Gejala gastrointestinal, seperti mual, muntah dan diare
• Kebingungan atau perubahan mental lainnya
Walaupun penyakit Legionnaire terutama mengenai paru-paru, kadang-kadang dapat menyebabkan infeksi pada luka dan di bagian lain dari tubuh, termasuk jantung.
Suatu bentuk ringan dari Penyakit Legionnaire adalah demam Pontiac, dengan gejala demam, menggigil, sakit kepala dan nyeri otot. Demam Pontiac tidak menginfeksi paru-paru dan gejala biasanyaterjadi kurun waktu 2-5 hari.

Penyebab
Bakteri Legionella pneumophila merupakan penyebab terhadap sebagian besar kasus penyakit Legionnaire. Di luar ruangan bakteri Legionella bertahan hidup di tanah dan air, tetapi jarang menyebabkan infeksi. Dalam ruangan, bakteri Legionella dapat berkembang biak pada semua jenis sistem pengelolaan air, kolam air panas, AC dan penyemprot air penyegar pada penjual makanan dan buah di suatu supermarket.
Sekalipun mungkin penyakit Legionnaire terjadi pada sistem air/pendingin rumah tangga tetapi sebagian besar kejadian wabah terjadi pada gedung-gedung yang besar yang dengan kompleksnya sistem air yang ada membuat bakteri ini dengan mudah tumbuh dan menyebar.
Bagaimana bakteri ini bisa menyebar?
Kebanyakan orang terinfeksi ketika mereka menghirup tetesan air mikroskopis yang mengandung bakteri legionella. Ini mungkin berasal dari semproan air keran, tempat mandi atau pusaran air atau air yang tersebar melalui sistem ventilasi di sebuah gedung besar.
Kejadian wabah yang terjadi sering dikaitkan dengan berbagai sumber, termasuk:
Hot tubs and whirlpools pada kapal pesiar
• Menara pendingin dalam sistem pendingin udara/AC
• Dekorasi pada air mancur
• Kolam renang
• Peralatan terapi fisik
• Sistem pengelolaan air sistem pada hotel, rumah sakit dan rumah jompo
Para ilmuwan tidak yakin berapa banyak paparan bakteri diperlukan untuk menyebabkan penyakit, tetapi pada beberapa orang, infeksi berkembang setelah menghirup tetesan yang terkontaminasi hanya dalam beberapa menit. Tidak seperti kebanyakan bakteri yang tersebar dalam radius kecil, bakteri legionella mungkin mampu melakukan perjalanan sejauh empat mil melalui udara.
Meskipun bakteri legionella terutama menyebar melalui tetesan air aerosol, infeksi dapat ditularkan dengan cara lain, termasuk:
• Aspirasi. Hal ini terjadi ketika cairan secara tidak sengaja masuk ke dalam paru-paru, biasanya terjadi saat batuk atau tersedak saat minum. Jika aspirat mengandung bakteri legionella, akan dapat berkembang menjadi penyakit Legionnaire.
• Tanah. Beberapa orang terjangkit penyakit Legionnaire setelah bekerja di kebun atau pot dengan tanah yang terkontaminasi.

Faktor risiko
Tidak semua orang yang terinfeksi bakteri legionella akan menjadi sakit. Ada beberapa faktor resiko :
• Merokok. Kebiasaan merokok akan merusak paru-paru dan lebih rentan terhadap segala jenis infeksi paru.
• Memiliki sistem kekebalan yang lemah sebagai akibat dari HIV / AIDS atau obat tertentu terutama kortikosteroid dan obat-obatan untuk mencegah penolakan organ setelah transplantasi.
• Memiliki penyakit paru kronis seperti emfisema atau kondisi lain yang serius seperti diabetes, penyakit ginjal atau kanker.
• Usia 65 tahun atau lebih
• Bekerja di ruang lingkup dan pemeliharaan sistem pendingin udara/AC
Penyakit Legionnaire terjadi secara sporadis dan menjadi masalah lokal di rumah sakit dan rumah jompo, di mana kuman dapat menyebar dengan mudah dan orang-orang yang rentan terhadap infeksi.

Komplikasi
Komplikasi penyakit Legionnaire dapat mengancam jiwa:
• Kegagalan pernapasan. Hal ini terjadi ketika paru-paru tidak lagi mampu memberikan tubuh oksigen yang cukup atau tidak dapat mengeluarkan karbon dioksida dari darah.
• Septic shock. Hal ini terjadi ketika tiba-tiba terjadi penurunan tekanan darah yang mengurangi aliran darah ke organ vital, terutama ginjal dan otak. Jantung mencoba untuk mengkompensasi dengan meningkatkan volume darah yang dipompa, tapi beban kerja tambahan akhirnya melemahkan jantung dan mengurangi aliran darah lebih lanjut
• Gagal ginjal akut. Akibat hilangnya kemampuan ginjal secara mendadak untuk melakukan fungsi utama mereka yaitu menyaring bahan beracun dari darah.
Bila tidak diobati secara efektif dan segera, penyakit Legionnaire mungkin akan menjadi fatal, terutama jika sistem kekebalan tubuh dilemahkan oleh penyakit atau obat.

Pemeriksaan dan Diagnosis
Penyakit Legionnaire ini mirip dengan jenis pneumonia lainnya. Untuk membantu mengidentifikasi keberadaan bakteri legionella secara cepat, dapat dilakukan pemeriksaan urine untuk mendeteksi antigen legionella, suatu zat asing yang dapat memicu respon sistem kekebalan tubuh. Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan sebagai berikut :
• Pemeriksaan darah
• Pemeriksaan radiologi dada, yang memang tidak mengkonfirmasi penyakit Legionnaire tetapi dapat menunjukkan tingkat infeksi pada paru
• Pemeriksaan pada sampel dahak atau jaringan paru
• CT scan otak atau pungsi tulang belakang jika mengalami gejala neurologis seperti kejang dan penurunan kesadaran

Pengobatan
Penyakit Legionnaire diobati dengan antibiotika golongan pernafasan kuinolon (levofloxacin, moksifloksasin, gemifloxacin) atau bisa juga antibiotika golongan macrolide (azithromycin, clarithromycin, roxithromycin). Antibiotika yang sering digunakan adalah levofloksasin dan azitromisin. Macrolide digunakan pada semua kelompok umur sedangkan tetrasiklin digunakan untuk anak-anak di atas usia 12 dan kuinolon di atas usia 18 tahun. Rifampicin dapat digunakan dalam kombinasi dengan kuinolon atau macrolide.
Tingkat kematian akan menjadi kurang dari 5% jika terapi dimulai dengan cepat. Keterlambatan dalam memberikan antibiotika yang sesuai akan beresiko kematian. Semakin cepat terapi dimulai, semakin kecil kemungkinan terjadinya komplikasi serius atau kematian. Sedangkan demam Pontiac akan hilang dengan sendirinya tanpa pengobatan dan tidak menyebabkan gejala-gejala sisa.

Prognosis
Menurut Journal Infection Control and Hospital Epidemiology, pneumonia Legionella yang di dapat di rumah sakit memiliki tingkat kematian sebesar 28% dan sumber utama infeksi pada kasus tersebut adalah sistem distribusi air minum

Pencegahan
Wabah penyakit Legionnaire dapat dicegah, tapi itu memerlukan pembersihan dan disinfeksi secara cermat pada sistem pegolahan air, kolam renang dan spa. Tidak merokok adalah hal yang paling penting yang dapat lakukan untuk menurunkan resiko infeksi. Merokok meningkatkan kemungkinan berkembangnya parahnya penyakit Legionnaire jika telah terinfeksi bakteri legionella.
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa sekitar 40% sampai 60% dari menara pendingin yang diuji mengandung Legionella. Sebuah penelitian terbaru memberikan bukti bahwa Legionella pneumophila sebagai agen penyebab, dapat melakukan perjalanan udara minimal 6 km dari sumbernya. Suatu tim ilmuwan dari Francis meneliti epidemi penyakit legionnaire yang berlangsung di Pas-de-Calais di utara Perancis pada 2003-2004. Terapat 86 kasus dikonfirmasikan selama wabah, 18 diantaranya meninggal. Sumber infeksi diidentifikasi pada menara pendingin di petrokimia tanaman dan analisis mereka pada yang terkena wabah bahwa beberapa orang yang terinfeksi, hidup sejauh 6-7 km dari pabrik. Sebuah studi kasus penyakit legionnaire pada bulan Mei 2005 di Sarpsborg, Norwegia menyimpulkan bahwa kecepatan udara yang tinggi, aliran udara besar dan kelembaban udara yang tinggi telah berkontribusi terhadap penyebaran luas Legionella sp. hingga mencapai lebih dari 10 km. Pada tahun 2010 sebuah studi di Inggris oleh Health Protection Agency melaporkan bahwa 20% kasus dapat disebabkan oleh air wiper kaca depan yang terinfeksi.

Kejadian Wabah
1. Philadelphia, Amerika Serikat, 1976
2. United Kingdom, 1985
3. Belanda, 1999
4. Melbourne, Australia, 2000
5. Spanyol, 2001
6. United Kingdom, 2002
7. Norwegia, 2005
8. South Wales, 2010
9. Amerika Serikat, 2011

Referensi :
1. Legionnaire's disease, available from
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000616.htm

2. Legionnaires' Disease available from http://www.scienceclarified.com/Io-Ma/Legionnaires-Disease.html

3. Legionnaires disease link to lack of windscreen wash, available from http://www.physorg.com/news195847365.html.

4. "What is Legionnaires' disease?" available from http://www.relianceworldwide.com/site/fs_main_home.htm.

5. Legionnaires' disease, Mayo Clinic, available from http://www.mayoclinic.com/health/legionnaires-disease/DS00853

6. European Working Group for ''Legionella' Infections" available from http://www.ewgli.org

7. Infection Control and Hospital Epidemiology, July 2007, Vol. 28, No. 7, "Role of Environmental Surveillance in Determining the Risk of Hospital-Acquired Legionellosis: A National Surveillance Study With Clinical Correlations" (http://www.legionella.org/EnvironSurv-Legionella_Stout_et_al-ICHE.pdf)

8. World Health Organization 2007. Legionella and the prevention of legionellosis. Geneva, Switzerland: WHO.
Available from http://www.who.int/water_sanitation_health/emerging/legionella.pdf

VITAMIN D MEMPERCEPAT PENGOBATAN TB

Selasa, 11 Januari 2011


Hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa vitamin D dapat mempercepat pengobatan antibiotika tuberkulosis (TB). Hal ini telah dipublikasikan oleh Dr Adrian Martineau dkk dari Centre for Health Sciences Barts dan The London School of Medicine and Dentistry yang didanai oleh British Lung Foundation pada Journal Lancet tanggal 6 Januari 2011

Pada penelitian tersebut terdapat 146 pasien dengan TB BTA positif yang masih sensitif terhadap obat TB. Mereka direkrut dari 10 pusat kesehatan di kota London dan secara acak diberikan empat dosis oral 2,5 mg vitamin D di awal pengobatan, 14,28 dan 42 hari setelah memulai pengobatan atau plasebo. Semua peserta menerima pengobatan antibiotika standar untuk kondisi mereka.

Waktu rata-rata untuk pembersihan kuman TB dari paru pada peserta penelitian adalah 6 minggu untuk pasien yang memakai terapi standar saja dan 5 minggu untuk mereka yang memakai tambahan vitamin D, walaupun secara statistik perbedaan ini tidak cukup signifikan, namun, pasien yang memiliki jenis genetik tertentu yaitu reseptor vitamin D (TaqI and FokI polymorphisms receptor) akan jauh lebih berespon terhadap pemberian vitamin D tersebut dan pembersihan bakteri TB jauh lebih cepat jika mereka menerima vitamin D di samping pengobatan antibiotika standar. Pemberian empat dosis 2,5 mg vitamin D3 akan meningkat konsentrasi serum 25-hidroksivitamin D. Vitamin D tidak secara signifikan mempengaruhi waktu untuk konversi kutur dahak di seluruh populasi penelitian, tapi hal itu secara signifikan mempercepat konversi kultur dahak pada peserta dengan yang memiliki tt genotipe dari reseptor TaqI polimorfisme.

122/126 pasien pada trial (97 persen) memiliki tingkat kekurangan vitamin D pada awal trial. Kekurangan vitamin D adalah masalah yang sangat umum pada pasien TB. Hal ini juga mungkin bahwa TB dapat menyebabkan kekurangan vitamin D dengan mekanisme yang tidak sepenuhnya dipahami saat ini.

Vitamin D terkenal karena dampaknya pada tulang mencegah rakhitis dan osteomalacia tetapi juga memiliki dampak penting pada sistem kekebalan tubuh. Dosis tinggi vitamin D dulu digunakan untuk mengobati TB sebelum tersedianya obat antibiotika seperti saat ini, tapi uji klinis belum pernah dilakukan untuk mengetahui bagaimana kondisi genetik pasien TB dapat mempengaruhi respon terhadap pemberian suplemen vitamin D. Temuan bahwa pasien yang memiliki reseptor jenis tertentu terhadap vitamin D dan berespon baik terhadap pemberian vitamin D, memberikan suatu wawasan bagaimana vitamin D dapat mempengaruhi respon kekebalan tubuh

Temuan penelitian menunjukkan suatu harapan baru dalam mempercepat pengobatan antibiotika TB untuk pasien-pasien yang menerima vitamin D. Proses pengobatan saat ini sangat panjang dan bisa mahal sehingga setiap kemajuan yang ada di bidang penelitian medis akan bisa sangat bermanfaat bagi penobatan pasien.

Referensi :
1. Selvaraj P, Chandra G, Jawahar MS, Rani MV, Rajeshwari DN, Narayanan PR. Regulatory role of vitamin D receptor gene variants of Bsm I, Apa I, Taq I, and Fok I polymorphisms on macrophage phagocytosis and lymphoproliferative response to mycobacterium tuberculosis antigen in pulmonary tuberculosis. J Clin Immunol 2004; 24: 523-532
2. Martineau AR, Honecker FU, Wilkinson RJ, Griffiths CJ. Vitamin D in the treatment of pulmonary tuberculosis. J Steroid Biochem Mol Biol 2007; 103: 793-798
3. Wejse C, Gomes VF, Rabna P, et al. Vitamin D as supplementary treatment for tuberculosis: a double-blind, randomized, placebo-controlled trial. Am J Respir Crit Care Med 2009; 179: 843-850
4. Martineau AR, Nanzer AM, Satkunam KR, et al. Influence of a single oral dose of vitamin D(2) on serum 25-hydroxyvitamin D concentrations in tuberculosis patients. Int J Tuberc Lung Dis 2009; 13: 119-125.